DOWNLOAD FILE ASLI
ANALISA MATERIL PERHITUNGAN KERUGIAN NEGARA YANG
TERJADI PADA DUGAAN KORUPSI PADA PERUSAHAAN DAERAH PEMBANGUNAN KOTA BINJAI
Oleh : ADI SUSANTO PURBA*)
Kerugian negara adalah merupakan unsur yang sangat
penting dalam penerapan pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (tipikor) yaitu undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana
mengalami perubahan dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001. Jika sudah
terjadi kerugian negara, maka sudah pasti ada tindak pidana korupsi disana. Pada
umumnya perkara tipikor yang diadili di Pengadilan Tipikor Medan adalah tuduhan
melanggar pasal 2 dan pasal 3 undang-undang tipikor, yang unsur-unsurnya terdiri
dari tindakan melawan hukum atau menyalah gunakan kewenangan, dengan tujuan
memperkaya diri sendiri atau orang lain, yang mengakibatkan terjadinya kerugian
negara. Karena itu dasar dimulainya penyidikan untuk perkara tipikor biasanya
adalah setelah adanya terlihat indikasi kerugian negara pada suatu instansi. Dengan
dasar ini, penyidikpun menelusuri berapa kerugian negaranya, siapa penyebab
terjadinya kerugian negara, dan siapa pula yang menikmati keuntungan atas
kerugian negara tersebut, untuk ditetapkan sebagai tersangka dan nantinya
diajukan kepersidangan.
Sesuai pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-undang tipikor, bahwa
kerugian negara yang terjadi akan dibebankan kepada orang yang menikmati
keuntungan atas kerugian negara yang terjadi. Namun bagi terdakwa yang tidak
ada menikmati aliran dana, hanya dibebani hukuman pokok dan denda. Untuk
terdakwa yang ikut menikmati aliran dana, dalam vonisnya selalu disertakan
hukuman tambahan yaitu hukuman mengganti kerugian negara sebesar aliran dana
yang dinikmatinya. Dalam amar putusannya hakim selalu menuliskan bahwa harta
benda yang diperoleh dari hasil korupsi tersebut disita untuk menutupi kerugian
negara, dan apabila harta bendanya tidak mencukupi, maka akan dihukum penjara
selama sekian tahun.
Begitu pentingnya unsur kerugian negara ini dalam
penerapan pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang tipikor, sehingga sangat dibutuhkan
ketelitian dari penegak hukum tipikor untuk menentukan dan menetapkannya.
Seperti yang terjadi pada kasus dugaan korupsi yang
terjadi pada tubuh Perusahaan Daerah Pembangunan Kota Binjai tahun 2006 s.d.
2010, dimana penetapan kerugian negara masih kurang jelas, akan tetapi Majelis
hakim tipikor tetap menjatuhkan hukuman 6 tahun, denda Rp.200 juta subsider 4 bulan kurungan serta
mengganti kerugian negara sebesar Rp. 1,3 Milyar (penulisan nominal dilakukan
pembulatan) atau 3 tahun penjara kepada Dirut-nya.
Adapun duduk permasalahan yang dipersoalkan JPU dalam
perkara ini adalah adanya pinjaman perusahaan pada tahun 2007 kepada seseorang
(pihak ketiga) yang nilainya sebesar Rp. 1 Milyar, akan tetapi menurut JPU uang
yang dipinjam tersebut tidak masuk kedalam kas perusahaan. Sementara
pengembalian hutang tersebut adalah dengan menggunakan dana yang berasal dari
kas perusahaan. Total uang yang dikembalikan perusahaan yaitu sebesar Rp. 2,3
Milyar yang terdiri dari pokok dan bunganya dengan cara cicilan. Maka JPU
menganggap bahwa total pengembalian uang pinjaman sebesar Rp. 2,3 Milyar ini adalah
merupakan kerugian negara, karena pokok pinjaannya tidak masuk ke kas
perusahaan. Tuduhan ini diajukan sebagaiman yang terlihat dalam laporan hasil
audit yang dilakukan oleh Tim Auditor dari BPKP atas permintaan Penyidik dalam
rangka menghitung kerugian negara.
Dalam laporan hasil auditnya Auditor BPKP menyimpulkan
bahwa telah terjadi kerugian negara sebesar Rp. 2,3 Milyar pada Perusahaan
Daerah Pembangunan kota Binjai. Kerugian tersebut adalah uang yang dibayarkan
perusahaan untuk mencicil pokok pinjaman serta bunganya selama 30 bulan.
Argumentasi mereka mengatakan bahwa
pengembalian ini merupakan kerugian negara, adalah karena bukti dokumen yang
menunjukkan bahwa dana sebesar Rp. 1 Milyar tersebut benar dibutuhkan
Perusahaan, tidak ditemukan. Dokumen yang mereka lihat bahwa pada tahun 2007
Perusahaan mendapat tambahan penyertaan modal dari Pemko Binjai sebesar Rp. 6,7
Milyar, sehingga tidak ada alasan bagi perusahaan untuk melakukan peminjaman.
Adapun alasan JPU mengatakan bahwa dana yang dipinjam
tersebut tidak masuk kedalam kas perusahaan, adalah karena dana pinjaman
tersebut tidak tertera dalam neraca laporan keuangan tahun 2007, baik dalam pos
penyertaan modal maupun dalam pos pemasukan lainnya. Yang muncul dalam neraca
hanyalah hutang perusahaan yang diakibatkan pinjaman tersebut. Dengan demikian
maka JPU menuduh bahwa benar telah terjadi kerugian negara pada Perusahaan Daerah
Pembanguan kota Binjai.
Jika kita lihat permasalahan ini, sesungguhnya
persoalan yang paling penting dibuktikan untuk menentukan benar tidaknya
tuduhan kerugian negara ini cukup sederhana. Yang perlu dibuktikan adalah
“Apakah benar perusahaan membutuhkan dana pinjaman sebesar Rp. 1 Milyar pada
bulan April 2007 ?” Jika benar dibutuhkan maka kerugian negara tidak ada. Jika
tidak benar dibutuhkan maka benarlah kesimpulan dari auditor BPKP tersebut.
Fakta yang terungkap dipersidangan, ternyata benar perusahaan membutuhkan dana Rp. 1
Milyar untuk membangun perumahan di Taman Alum Permai. Bukti-bukti yang
menunjukkan bahwa dana tersebut dibutuhkan adalah :
1.
Penjelasan
dari Direktur keuangan yang menunjukkan bahwa dana penyertaan modal Pemerintah sebesar
Rp. 6,7 Milyar terserap seluruhnya untuk kegiatan usaha diluar unit usaha
perumahan.
2.
Notulen
rapat direksi yang menyimpulkan bahwa benar dibutuhkan dana untuk membangun
perumahan Taman Alum Permai sebesar Rp. 1 Milyar, yang sifatnya mendesak akibat
desakan dari konsumen yang telah membayar DP pembelian rumah tersebut, dimana
diantara konsumen tersebut sebahagian adalah anggota TNI.
3.
Rencana
Anggaran Biaya perusahaan tahun 2007, yang jelas menunjukkan bahwa sumber dana
untuk pembangunan perumahan, bukan dari dana penyertaan modal pemerintah akan
tetapi dari pinjaman pihak ketiga.
4.
Keterangan
saksi dari anggota komisi C DPRD kota Binjai serta bukti dokumen yang
menunjukkan bahwa DPRD telah menyetuji agar Perusahaan Daerah Pembangunan
melakukan pinjaman kepada Bank Sumut untuk membiayai pembangunan perumahan
Taman Alum Permai. Akan tetapi pihak Bank Sumut tidak dapat memberikan pinjaman
karena mereka menilah bahwa perusahaan masih baru berdiri.
Keempat bukti ini, sesungguhnya sudah merupakan alasan
yang cukup untuk untuk membuktikan bahwa benar Perusahaan membutuhkan dana
pinjaman untuk membangun Perumahan.
Dengan demikian kerugian negara sebenarnya tidak ada terjadi.
Fakta lain yang terungkap dipersidangan yang
menunjukkan bahwa kerugian negara ini sesungguhnya tidak ada, adalah keterangan
dari auditor BPKP yang pada akhirnya mengatakan bahwa kerugian negara yang
mereka simpulkan dalam laporannya adalah merupakan asumsi. Saksi auditor BPKP
ini mengatakan bahwa itu asumsi adalah setelah diminta penjelasannya tentang
sumber data dan metode yang mereka lakukan dalam melakukan penghitungan
kerugian negara. Ternyata mereka melakukan perhitungan hanya berdasarkan
dukumen yang diperlihatkan oleh Penyidik, sebagaimana yang tertulis pada
laporan hasli audit mereka.
Dalam laporan tersebut nomor urut 7 jelas dikatakan
bahwa perhitungan yang dilakukan adalah berdasarkan pengungkapan fakta dan
proses kejadian serta data/bukti/dokumen yang diminta/diperoleh dari/melalui
tim Penyidik. Sedangkan pada nomor urut 4 tentang hambatan jelas dikatakan
bahwa auditor tidak menemukan notuen
rapat bulan April 2007 yang membicarakan mencari tambahan modal untuk
pembangunan perumahan Taman Alum Permai. Dengan demikian auditor berkesimpulan bahwa dana yang
dipinjam sebesar Rp. 1 Milyar tidak dibutuhkan perusahaan, sehingga
pengembaliannya dipandang merupakan kerugian perusahaan atau kerugian negara.
Setelah dipersidangan ditunjukkan keempat bukti di atas, barulah saksi dari
BPKP mengatakan bahwa kesimpulan mereka itu adalah asumsi.
Asumsinya adalah : jika tidak ada bukti yang
menunjukkan bahwa perusahaan benar membutuhkan pinjaman uang sebesar Rp. 1
Milyar, maka benar kerugian negara adalah sebesar Rp. 2,3 Milyar. Akan tetapi
jika ada bukti yang menunjukkan bawa benar perusahaan membutuhkan pinjaman
sebesar Rp. 1 Milyar, maka kerugian negara tidak Rp. 2,3 Milyar. Ternyata ada
beberapa bukti yang menunjukkan bahwa benar perusahaan membutuhkan dana untuk
membangun perumahan. Berarti kesimpulannya kerugian negara tidak terjadi atas
peminjaman tersebut.
Pertanyaan berikutnya yang perlu diperjelas untuk
membuktikan bahwa sesungguhnya tidak terjadi kerugian negara akibat pinjaman
ini adalah : “Kenapa dana pinjaman tersebut tidak terlihat dalam neraca akhir
tahun laporan keuangan perusahaan kepada DPRD ?”
Pertanyaan ini dapat terjawab dengan penjelasan
berikut ini.
Bahwa penggunaan uang yang dipinjam ini adalah untuk
pembangunan perumahan di Taman Alum Permai yang sifatnya sangat mendesak. Dimana
begitu uang pinjaman ini diterima, langsung dibelanjakan untuk keperluan
pembangunan. Dengan demikian maka dana pinjaman ini sebenarnya dapat dilihat
dari dokumen perbelanjaan pembangunan perumahan Taman Alum Permai. Sayangnya
dokumen tersebut tidak dapat ditemukan lagi.
Selanjutnya sebelum akhir tahun 2007 rumah sebanyak 67
Unit tersebut telah selesai dibangun dan telah terjual seluruhnya kepada
konsumen, dengan bekerjasama dengan pihak BTN dalam bentuk KPR. Dengan demikian
investasi rumah yang telah dibangun tersebut tidak dapat dimasukkan lagi dalam bentuk
asset/aktiva perusahaan karena rumah yang dibangun tersebut telah habis terjual
sebelum akhir tahun 2007. Demikian juga tidak dapat dimasukkan dalam pos
penyertaan modal, karena uang tersebut adalah merupakan pinjaman singkat, dan
bentuknya bukan untuk penyertaan modal. Perlu diketahui apabila uang pinjaman
itu dimasukkan dalam bentuk penyertaan modal, maka konsekwensinya
pengembaliannya adalah dalam bentuk bagi hasil keuntungan perusahaan. Maka
sesuai aturan pembuatan neraca akhir tahun, uang pinjaman tersebut tidak dapat
dimasukkan dalam pos manapun.
Akan tetapi jika kita menelusuri penjelasan pos neraca
laba rugi, disana jelas terlihat bahwa salah satu sumber pendapatan perusahaan
adalah dari penjualan rumah di Taman Alum Permai yang nilainya sebesar yaitu
Rp. 3,1 Milyar. Data ini jelas membuktikan bahwa benar ada pembanguan perumahan
di Taman Alum Permai. Dalam bahasa sehari-hari dapat dikatakan bahwa uang yang
dipinjam sebesar Rp. 1 Milyar telah menjelma menjadi penghasilan perusahaan,
dan telah masuk kedalam neraca laba rugi dalam bentuk penghasilan. Inilah
alasannya kenapa uang pinjaman sebesar Rp. 1 Milyar tersebut tidak masuk
kedalam neraca dalam bentuk penyertaan modal maupun dalam bentuk aktiva
perusahaan.
Dari semua fakta ini semakin jelaslah kiranya bahwa
sesungguhnya tidak ada terjadi kerugian negara akibat peminjaman yang dilakukan
tersebut.
Persoalan lain yang diajukan JPU dalam dakwaan maupun
tuntutannya atas perkara ini adalah opini yang menggambarkan telah terjadi
kerugian perusahaan/kerugian negara sebesar Rp. 9,9 Milyar selama 5 tahun sejak
berdirinya perusahaan tahun 2006. Walaupun pada akhirnya JPU hanya menuntut
kerugian negara yang berhubungan dengan masalah peminjaman kepada pihak ketiga
sebesar Rp. 2,3 Milyar, akan tetapi JPU terlebih dahulu membangun opini negatif
terhadap kinerja Perusahaan Daerah ini. Penjelasan tentang opini yang dibangun
JPU tersebut adalah sebagai berikut.
Sebagaimana yang terlihat dalam laporan keuangan,
bahwa dalam neraca laba rugi perusahaan ditemukan rugi untuk tahun buku 2006
sebesar Rp. 201 juta, tahun 2007 sebesar Rp. 4 Milyar, tahun 2008 sebesar Rp.
2,7 Milyar, tahun 2009 sebesar Rp. 2,9 Milyar dan tahun 2010 sebesar Rp. 48
juta. Angka-angka saldo rugi yang tertera dalam neraca untuk masing-masing tahun
buku ini dijumlahkan oleh JPU keseluruhannya sehingga jumlahnya menjadi Rp. 9,9
Milyar. Hasil penjumlahan ini dipandang oleh JPU merupakan kerugian perusahaan
yang sekaligus merupakan kerugian negara, karena Perusahaan daerah ini mendapat
penyertaan modal dari Pemerintah.
Jika kita memahami apa arti dari sebuah neraca laba
rugi, maka secara spontan kita tidak terpengaruh, atau menolak opini tersebut.
Saldo yang tertera pada neraca laba rugi adalah merupakan selisih dari pendapatan
yang diperoleh perusahaan selama satu tahun dikurangi dengan biaya operasional
perusahaan. Jika pendapatan lebih besar dari biaya operasional maka akan
dihasilkan saldo untung, dan sebaliknya jika pendapatan lebih sedikit dari
biaya, maka dihasilkan saldo rugi. Adapun biaya operasional itu adalah termasuk
gaji karyawan, belanja barang pakai habis, belanja perjalanan dinas, biaya
pelatihan dan belanja lainnya yang pengeluarannya tidak menghasilkan benda
nyata yang dapat didaftarkan menjadi asset perusahaan. Dengan demikian, saldo
rugi sebesar Rp. 201 juta yang tertera pada neraca tahun buku 2006 adalah
disebabkan karena pada tahun 2006 keuntungan perusahaan hanya Rp. 100 juta, sedangkan
biaya operasional habis sebesar Rp. 301 juta, sebagaimana yang tertera pada
neraca laba rugi tahun 2006. Sesungguhnya rugi seperti ini untuk perusahaan
yang baru berdiri adalah hal yang lumrah, karena perusahaan masih dalam tahap
pembangunan, sehingga belum bisa membuahkan hasil.
Secara logika bahwa saldo rugi tahun 2006 pasti akan
menjadi beban untuk tahun 2007. Karena kerugian itu adalah untuk membayar gaji
karyawan, atau tagihan-tagihan lain yang perbelanjaannya telah dilaksanakan
tahun 2006 yang masih merupakan hutang. Dengan demikian maka penghasilan atau
tambahan modal tahun 2007, pasti terserap untuk menutupi saldo rugi tahun 2006,
yang secara otomatis akan mempengaruhi saldo pada neraca laba rugi tahun 2007.
Demikian seterusnya untuk tahun 2008, 2009 dan tahun 2010.
Dengan penjelasan secara logika sederhana ini dapat
dapat kita pastikan bahwa angka-angka yang tertera pada saldo rugi untuk stiap
tahun buku sesungguhnya tidak dapat dijumlahkan. Karena saldo rugi tahun
berjalan telah ditutupi dari penghasilan tahun berikutnya. Maka berapa saldo
rugi tahun terakhir, sesungguhnya itulah akumulasi dari kerugian selama
perusahaan beroperasi. Dengan demikian, sesungguhnya penjelasan JPU yang
mengatakan bahwa perusahaan telah mengalami kerugian sebesar Rp. 9,9 Milyar
selama 5 tahun adalah tidak benar sama sekali.
Jika kita cermati perjalanan besar saldo yang tertera
pada neraca laba rugi perusahaan sejak beroperasi tahun 2006 hingga tahun 2010,
dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya kinerja Perusahaan Daerah ini cukup baik.
Neracanya berangsur-angsur menuju titik balance (break even point), yang
artinya semakin lama beroperasi perusahaan semakin sehat, dan sudah menuju
kepada saldo untung. Ini dapat terlihat pada tahun 2010, dimana saldo rugi tinggal Rp. 48 juta. Secara grafik,
andaikan perusahaan ini terus beroperasi, mungkin untuk tahun 2011 perusahaan
ini telah mendapat saldo laba, yang artinya telah mendapat keuntungan. Berarti
sesungguhnya perusahaan daerah pembangunan ini diprediksi akan mampu memenuhi
janjinya pada saat pembentukan perusahaan dimana pada awalnya dijanjikan bahwa break
even point akan dicapai setelah 8 tahun.
Kesimpulan :
1.
Bahwa
tidak benar terjadi kerugian negara akibat pinjaman yang dilakukan oleh
perusahaan kepada pihak ketiga perseorangan.
2.
Bahwa
tidak benar perusahaan mengalami kerugian sebesar Rp. 9,9 Milyar sejak
beroperasi tahun 2006 hingga tahun 2010.
3.
Bahwa
tidak benar uang yang dipinjam sebesar Rp. 1 Milyar masuk ke kantong pribadi
Dirut perusahaan.
Demikian analisa materil yang dapat penulis ajukan
untuk menjadi perhatian bagi masyarakat, terutama aparat penegak hukum tipikor
khususnya yang menangani perkara ini.
Atas perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.
*) Penulis adalah pemerhati
perkara tipikor Sumatra Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar