Halaman

Rabu, 30 Oktober 2013

ANALISA KERUGIAN NEGARA PERKARA PD PEMB KOTA BINJAI

DOWNLOAD FILE ASLI



ANALISA MATERIL PERHITUNGAN KERUGIAN NEGARA YANG TERJADI PADA DUGAAN KORUPSI PADA PERUSAHAAN DAERAH PEMBANGUNAN KOTA BINJAI
Oleh : ADI SUSANTO PURBA*)

Kerugian negara adalah merupakan unsur yang sangat penting dalam penerapan pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (tipikor) yaitu undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana mengalami perubahan dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001. Jika sudah terjadi kerugian negara, maka sudah pasti ada tindak pidana korupsi disana. Pada umumnya perkara tipikor yang diadili di Pengadilan Tipikor Medan adalah tuduhan melanggar pasal 2 dan pasal 3 undang-undang tipikor, yang unsur-unsurnya terdiri dari tindakan melawan hukum atau menyalah gunakan kewenangan, dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain, yang mengakibatkan terjadinya kerugian negara. Karena itu dasar dimulainya penyidikan untuk perkara tipikor biasanya adalah setelah adanya terlihat indikasi kerugian negara pada suatu instansi. Dengan dasar ini, penyidikpun menelusuri berapa kerugian negaranya, siapa penyebab terjadinya kerugian negara, dan siapa pula yang menikmati keuntungan atas kerugian negara tersebut, untuk ditetapkan sebagai tersangka dan nantinya diajukan kepersidangan.

Sesuai pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-undang tipikor, bahwa kerugian negara yang terjadi akan dibebankan kepada orang yang menikmati keuntungan atas kerugian negara yang terjadi. Namun bagi terdakwa yang tidak ada menikmati aliran dana, hanya dibebani hukuman pokok dan denda. Untuk terdakwa yang ikut menikmati aliran dana, dalam vonisnya selalu disertakan hukuman tambahan yaitu hukuman mengganti kerugian negara sebesar aliran dana yang dinikmatinya. Dalam amar putusannya hakim selalu menuliskan bahwa harta benda yang diperoleh dari hasil korupsi tersebut disita untuk menutupi kerugian negara, dan apabila harta bendanya tidak mencukupi, maka akan dihukum penjara selama sekian tahun.
Begitu pentingnya unsur kerugian negara ini dalam penerapan pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang tipikor, sehingga sangat dibutuhkan ketelitian dari penegak hukum tipikor untuk menentukan dan menetapkannya.
Seperti yang terjadi pada kasus dugaan korupsi yang terjadi pada tubuh Perusahaan Daerah Pembangunan Kota Binjai tahun 2006 s.d. 2010, dimana penetapan kerugian negara masih kurang jelas, akan tetapi Majelis hakim tipikor tetap menjatuhkan hukuman 6 tahun, denda  Rp.200 juta subsider 4 bulan kurungan serta mengganti kerugian negara sebesar Rp. 1,3 Milyar (penulisan nominal dilakukan pembulatan) atau 3 tahun penjara kepada Dirut-nya.
Adapun duduk permasalahan yang dipersoalkan JPU dalam perkara ini adalah adanya pinjaman perusahaan pada tahun 2007 kepada seseorang (pihak ketiga) yang nilainya sebesar Rp. 1 Milyar, akan tetapi menurut JPU uang yang dipinjam tersebut tidak masuk kedalam kas perusahaan. Sementara pengembalian hutang tersebut adalah dengan menggunakan dana yang berasal dari kas perusahaan. Total uang yang dikembalikan perusahaan yaitu sebesar Rp. 2,3 Milyar yang terdiri dari pokok dan bunganya dengan cara cicilan. Maka JPU menganggap bahwa total pengembalian uang pinjaman sebesar Rp. 2,3 Milyar ini adalah merupakan kerugian negara, karena pokok pinjaannya tidak masuk ke kas perusahaan. Tuduhan ini diajukan sebagaiman yang terlihat dalam laporan hasil audit yang dilakukan oleh Tim Auditor dari BPKP atas permintaan Penyidik dalam rangka menghitung kerugian negara.
Dalam laporan hasil auditnya Auditor BPKP menyimpulkan bahwa telah terjadi kerugian negara sebesar Rp. 2,3 Milyar pada Perusahaan Daerah Pembangunan kota Binjai. Kerugian tersebut adalah uang yang dibayarkan perusahaan untuk mencicil pokok pinjaman serta bunganya selama 30 bulan. Argumentasi  mereka mengatakan bahwa pengembalian ini merupakan kerugian negara, adalah karena bukti dokumen yang menunjukkan bahwa dana sebesar Rp. 1 Milyar tersebut benar dibutuhkan Perusahaan, tidak ditemukan. Dokumen yang mereka lihat bahwa pada tahun 2007 Perusahaan mendapat tambahan penyertaan modal dari Pemko Binjai sebesar Rp. 6,7 Milyar, sehingga tidak ada alasan bagi perusahaan untuk melakukan peminjaman.
Adapun alasan JPU mengatakan bahwa dana yang dipinjam tersebut tidak masuk kedalam kas perusahaan, adalah karena dana pinjaman tersebut tidak tertera dalam neraca laporan keuangan tahun 2007, baik dalam pos penyertaan modal maupun dalam pos pemasukan lainnya. Yang muncul dalam neraca hanyalah hutang perusahaan yang diakibatkan pinjaman tersebut. Dengan demikian maka JPU menuduh bahwa benar telah terjadi kerugian negara pada Perusahaan Daerah Pembanguan kota Binjai.
Jika kita lihat permasalahan ini, sesungguhnya persoalan yang paling penting dibuktikan untuk menentukan benar tidaknya tuduhan kerugian negara ini cukup sederhana. Yang perlu dibuktikan adalah “Apakah benar perusahaan membutuhkan dana pinjaman sebesar Rp. 1 Milyar pada bulan April 2007 ?” Jika benar dibutuhkan maka kerugian negara tidak ada. Jika tidak benar dibutuhkan maka benarlah kesimpulan dari auditor BPKP tersebut.
Fakta yang terungkap dipersidangan, ternyata  benar perusahaan membutuhkan dana Rp. 1 Milyar untuk membangun perumahan di Taman Alum Permai. Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa dana tersebut dibutuhkan adalah :
1.      Penjelasan dari Direktur keuangan yang menunjukkan bahwa dana penyertaan modal Pemerintah sebesar Rp. 6,7 Milyar terserap seluruhnya untuk kegiatan usaha diluar unit usaha perumahan.
2.      Notulen rapat direksi yang menyimpulkan bahwa benar dibutuhkan dana untuk membangun perumahan Taman Alum Permai sebesar Rp. 1 Milyar, yang sifatnya mendesak akibat desakan dari konsumen yang telah membayar DP pembelian rumah tersebut, dimana diantara konsumen tersebut sebahagian adalah anggota TNI.
3.      Rencana Anggaran Biaya perusahaan tahun 2007, yang jelas menunjukkan bahwa sumber dana untuk pembangunan perumahan, bukan dari dana penyertaan modal pemerintah akan tetapi dari pinjaman pihak ketiga.
4.      Keterangan saksi dari anggota komisi C DPRD kota Binjai serta bukti dokumen yang menunjukkan bahwa DPRD telah menyetuji agar Perusahaan Daerah Pembangunan melakukan pinjaman kepada Bank Sumut untuk membiayai pembangunan perumahan Taman Alum Permai. Akan tetapi pihak Bank Sumut tidak dapat memberikan pinjaman karena mereka menilah bahwa perusahaan masih baru berdiri.
Keempat bukti ini, sesungguhnya sudah merupakan alasan yang cukup untuk untuk membuktikan bahwa benar Perusahaan membutuhkan dana pinjaman untuk membangun Perumahan.  Dengan demikian kerugian negara sebenarnya tidak ada terjadi.
Fakta lain yang terungkap dipersidangan yang menunjukkan bahwa kerugian negara ini sesungguhnya tidak ada, adalah keterangan dari auditor BPKP yang pada akhirnya mengatakan bahwa kerugian negara yang mereka simpulkan dalam laporannya adalah merupakan asumsi. Saksi auditor BPKP ini mengatakan bahwa itu asumsi adalah setelah diminta penjelasannya tentang sumber data dan metode yang mereka lakukan dalam melakukan penghitungan kerugian negara. Ternyata mereka melakukan perhitungan hanya berdasarkan dukumen yang diperlihatkan oleh Penyidik, sebagaimana yang tertulis pada laporan hasli audit mereka.
Dalam laporan tersebut nomor urut 7 jelas dikatakan bahwa perhitungan yang dilakukan adalah berdasarkan pengungkapan fakta dan proses kejadian serta data/bukti/dokumen yang diminta/diperoleh dari/melalui tim Penyidik. Sedangkan pada nomor urut 4 tentang hambatan jelas dikatakan bahwa auditor tidak menemukan  notuen rapat bulan April 2007 yang membicarakan mencari tambahan modal untuk pembangunan perumahan Taman Alum Permai. Dengan demikian  auditor berkesimpulan bahwa dana yang dipinjam sebesar Rp. 1 Milyar tidak dibutuhkan perusahaan, sehingga pengembaliannya dipandang merupakan kerugian perusahaan atau kerugian negara. Setelah dipersidangan ditunjukkan keempat bukti di atas, barulah saksi dari BPKP mengatakan bahwa kesimpulan mereka itu adalah asumsi.
Asumsinya adalah : jika tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa perusahaan benar membutuhkan pinjaman uang sebesar Rp. 1 Milyar, maka benar kerugian negara adalah sebesar Rp. 2,3 Milyar. Akan tetapi jika ada bukti yang menunjukkan bawa benar perusahaan membutuhkan pinjaman sebesar Rp. 1 Milyar, maka kerugian negara tidak Rp. 2,3 Milyar. Ternyata ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa benar perusahaan membutuhkan dana untuk membangun perumahan. Berarti kesimpulannya kerugian negara tidak terjadi atas peminjaman tersebut.
Pertanyaan berikutnya yang perlu diperjelas untuk membuktikan bahwa sesungguhnya tidak terjadi kerugian negara akibat pinjaman ini adalah : “Kenapa dana pinjaman tersebut tidak terlihat dalam neraca akhir tahun laporan keuangan perusahaan kepada DPRD ?”
Pertanyaan ini dapat terjawab dengan penjelasan berikut ini.
Bahwa penggunaan uang yang dipinjam ini adalah untuk pembangunan perumahan di Taman Alum Permai yang sifatnya sangat mendesak. Dimana begitu uang pinjaman ini diterima, langsung dibelanjakan untuk keperluan pembangunan. Dengan demikian maka dana pinjaman ini sebenarnya dapat dilihat dari dokumen perbelanjaan pembangunan perumahan Taman Alum Permai. Sayangnya dokumen tersebut tidak dapat ditemukan lagi.
Selanjutnya sebelum akhir tahun 2007 rumah sebanyak 67 Unit tersebut telah selesai dibangun dan telah terjual seluruhnya kepada konsumen, dengan bekerjasama dengan pihak BTN dalam bentuk KPR. Dengan demikian investasi rumah yang telah dibangun tersebut tidak dapat dimasukkan lagi dalam bentuk asset/aktiva perusahaan karena rumah yang dibangun tersebut telah habis terjual sebelum akhir tahun 2007. Demikian juga tidak dapat dimasukkan dalam pos penyertaan modal, karena uang tersebut adalah merupakan pinjaman singkat, dan bentuknya bukan untuk penyertaan modal. Perlu diketahui apabila uang pinjaman itu dimasukkan dalam bentuk penyertaan modal, maka konsekwensinya pengembaliannya adalah dalam bentuk bagi hasil keuntungan perusahaan. Maka sesuai aturan pembuatan neraca akhir tahun, uang pinjaman tersebut tidak dapat dimasukkan dalam pos manapun.
Akan tetapi jika kita menelusuri penjelasan pos neraca laba rugi, disana jelas terlihat bahwa salah satu sumber pendapatan perusahaan adalah dari penjualan rumah di Taman Alum Permai yang nilainya sebesar yaitu Rp. 3,1 Milyar. Data ini jelas membuktikan bahwa benar ada pembanguan perumahan di Taman Alum Permai. Dalam bahasa sehari-hari dapat dikatakan bahwa uang yang dipinjam sebesar Rp. 1 Milyar telah menjelma menjadi penghasilan perusahaan, dan telah masuk kedalam neraca laba rugi dalam bentuk penghasilan. Inilah alasannya kenapa uang pinjaman sebesar Rp. 1 Milyar tersebut tidak masuk kedalam neraca dalam bentuk penyertaan modal maupun dalam bentuk aktiva perusahaan.
Dari semua fakta ini semakin jelaslah kiranya bahwa sesungguhnya tidak ada terjadi kerugian negara akibat peminjaman yang dilakukan tersebut.
Persoalan lain yang diajukan JPU dalam dakwaan maupun tuntutannya atas perkara ini adalah opini yang menggambarkan telah terjadi kerugian perusahaan/kerugian negara sebesar Rp. 9,9 Milyar selama 5 tahun sejak berdirinya perusahaan tahun 2006. Walaupun pada akhirnya JPU hanya menuntut kerugian negara yang berhubungan dengan masalah peminjaman kepada pihak ketiga sebesar Rp. 2,3 Milyar, akan tetapi JPU terlebih dahulu membangun opini negatif terhadap kinerja Perusahaan Daerah ini. Penjelasan tentang opini yang dibangun JPU tersebut adalah sebagai berikut.
Sebagaimana yang terlihat dalam laporan keuangan, bahwa dalam neraca laba rugi perusahaan ditemukan rugi untuk tahun buku 2006 sebesar Rp. 201 juta, tahun 2007 sebesar Rp. 4 Milyar, tahun 2008 sebesar Rp. 2,7 Milyar, tahun 2009 sebesar Rp. 2,9 Milyar dan tahun 2010 sebesar Rp. 48 juta. Angka-angka saldo rugi yang tertera dalam neraca untuk masing-masing tahun buku ini dijumlahkan oleh JPU keseluruhannya sehingga jumlahnya menjadi Rp. 9,9 Milyar. Hasil penjumlahan ini dipandang oleh JPU merupakan kerugian perusahaan yang sekaligus merupakan kerugian negara, karena Perusahaan daerah ini mendapat penyertaan modal dari Pemerintah.
Jika kita memahami apa arti dari sebuah neraca laba rugi, maka secara spontan kita tidak terpengaruh, atau menolak opini tersebut. Saldo yang tertera pada neraca laba rugi adalah merupakan selisih dari pendapatan yang diperoleh perusahaan selama satu tahun dikurangi dengan biaya operasional perusahaan. Jika pendapatan lebih besar dari biaya operasional maka akan dihasilkan saldo untung, dan sebaliknya jika pendapatan lebih sedikit dari biaya, maka dihasilkan saldo rugi. Adapun biaya operasional itu adalah termasuk gaji karyawan, belanja barang pakai habis, belanja perjalanan dinas, biaya pelatihan dan belanja lainnya yang pengeluarannya tidak menghasilkan benda nyata yang dapat didaftarkan menjadi asset perusahaan. Dengan demikian, saldo rugi sebesar Rp. 201 juta yang tertera pada neraca tahun buku 2006 adalah disebabkan karena pada tahun 2006 keuntungan perusahaan hanya Rp. 100 juta, sedangkan biaya operasional habis sebesar Rp. 301 juta, sebagaimana yang tertera pada neraca laba rugi tahun 2006. Sesungguhnya rugi seperti ini untuk perusahaan yang baru berdiri adalah hal yang lumrah, karena perusahaan masih dalam tahap pembangunan, sehingga belum bisa membuahkan hasil.
Secara logika bahwa saldo rugi tahun 2006 pasti akan menjadi beban untuk tahun 2007. Karena kerugian itu adalah untuk membayar gaji karyawan, atau tagihan-tagihan lain yang perbelanjaannya telah dilaksanakan tahun 2006 yang masih merupakan hutang. Dengan demikian maka penghasilan atau tambahan modal tahun 2007, pasti terserap untuk menutupi saldo rugi tahun 2006, yang secara otomatis akan mempengaruhi saldo pada neraca laba rugi tahun 2007. Demikian seterusnya untuk tahun 2008, 2009 dan tahun 2010.
Dengan penjelasan secara logika sederhana ini dapat dapat kita pastikan bahwa angka-angka yang tertera pada saldo rugi untuk stiap tahun buku sesungguhnya tidak dapat dijumlahkan. Karena saldo rugi tahun berjalan telah ditutupi dari penghasilan tahun berikutnya. Maka berapa saldo rugi tahun terakhir, sesungguhnya itulah akumulasi dari kerugian selama perusahaan beroperasi. Dengan demikian, sesungguhnya penjelasan JPU yang mengatakan bahwa perusahaan telah mengalami kerugian sebesar Rp. 9,9 Milyar selama 5 tahun adalah tidak benar sama sekali.

Jika kita cermati perjalanan besar saldo yang tertera pada neraca laba rugi perusahaan sejak beroperasi tahun 2006 hingga tahun 2010, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya kinerja Perusahaan Daerah ini cukup baik. Neracanya berangsur-angsur menuju titik balance (break even point), yang artinya semakin lama beroperasi perusahaan semakin sehat, dan sudah menuju kepada saldo untung. Ini dapat terlihat pada tahun 2010, dimana  saldo rugi tinggal Rp. 48 juta. Secara grafik, andaikan perusahaan ini terus beroperasi, mungkin untuk tahun 2011 perusahaan ini telah mendapat saldo laba, yang artinya telah mendapat keuntungan. Berarti sesungguhnya perusahaan daerah pembangunan ini diprediksi akan mampu memenuhi janjinya pada saat pembentukan perusahaan dimana pada awalnya dijanjikan bahwa break even point akan dicapai setelah 8 tahun.
Kesimpulan :
1.      Bahwa tidak benar terjadi kerugian negara akibat pinjaman yang dilakukan oleh perusahaan kepada pihak ketiga perseorangan.
2.      Bahwa tidak benar perusahaan mengalami kerugian sebesar Rp. 9,9 Milyar sejak beroperasi tahun 2006 hingga tahun 2010.
3.      Bahwa tidak benar uang yang dipinjam sebesar Rp. 1 Milyar masuk ke kantong pribadi Dirut perusahaan.
Demikian analisa materil yang dapat penulis ajukan untuk menjadi perhatian bagi masyarakat, terutama aparat penegak hukum tipikor khususnya yang menangani perkara ini.
Atas perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.

*) Penulis adalah pemerhati perkara tipikor Sumatra Utara.

Tidak ada komentar: