Halaman

Rabu, 08 Februari 2012

PROSES HUKUM YANG MENGUTAMAKAN KEPENTINGAN JABATAN

Pernahkan Anda terpikir bagaimana dengan proses hukum di Negara Indonesia tercinta ini ???
Dulu saya tidak yakin sama sekalai kalau ada orang yang tidak bersalah bisa divonis bersalah oleh Majelis Hakim. Saya memandang Hakim itu adalah orang yang benar-benar melaksanakan amanat kata-kata "Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Sehingga keputusan yang diambilnya benar-benar berdasarkan fakta yang tgerungkap dipersidangan serta bukti-bukti yang telah diperlihatkan dihadapan Majelis dan Jaksa Penuntut Umum. Kenyataanya yang saya alami, fakta persidangan dan bukti yang telah saya ajukan, sedikitpun tidak dimasukkan Majelis Hakim dalam membuat pertimbangan putusannya. Yang paling konyol, permasalahan yang ada buktinya ini pula yang dipersalahkan kepada saya. Kesimpulan apa ini ????

Pertanyaan besar yang muncul dalam pikiran saya : "Kenapa proses peradilan Tipikor bisa seperti ini ???"
"Ada kepentingan apa sama Majelis Hakim memvonis saya bersalah padahal yang dipersalahkannya itu bertentangan dengan fakt persidangan ?"



Dua hari ini saya renungkan, muncullah beberapa jawaban alternatif dalam pikiran saya yaitu :
1. Hakim tidak mau repot dengan urusan pemeriksaan dari MA andaikan mereka menjatuhkan vonis bebas. Sehingga mereka ambil jalan pintas dengan mengambil keputusan standar.
2. Hakim tidak mau dibenci oleh Jaksa Penuntut Umum jika memberi vonis bebas. Sebab link mereka cukup keras.
3. Sistim peradilan sudah dipengaruhi iklim politik. Krn Pemerintah sendang gencar-gencarnya memberantas korupsi dan melakukan efek jera kepada koruptor, maka merekapun tidak lagi memikirkan fakta persidangan, supaya atasannya menganggap mereka mendukung program pemerintah.
4. Mungkin karena tidak ada apel Palembang nya Angelina Sondakh.

Kalau lembaga Judikatif sudah tidak murni lagi menjalankan tugas demi keadilan, inilah yang membuat Masyarkat merasa tidak ada kepastian hukum, sehingga semakin takut untuk berbuat yang sebenarnya sesuai aturan. Masyarakat akan lebih cenderung untuk menyelamatkan diri masing-masing, dan apatis terhadap arah pemerintah. Disisi lain, masayrakat yang sudah pernah merasakan kekecewaan proses peradilan, akan semakin beringas melihat lembaga-lembaga peradilan, yang berakibat kepada gampangnya mereka disulut api emosional jika ada kesempatan seperti demo. Efek negatif yang lain adalah : semakin tumbuh subur penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh oknum pejabat yang mempunyai bakat korupsi.

Benar sekali yang diucapkan seorang guru besar Hukum Universitas Indonesia prof. J.A. Sahetapy, bahwa peradilan di Indonesia sudah bobrok dari tingkat bawah hingga tingkat paling tinggi.

Dan jika kita renungi saat ini, cukup ngeri pertanyaan yang selalu diiklankan oleh Bang Karni Iliyas yang mengatakan : "Jika lembaga Ekseutif yang diawasi, Lembaga Legislatif yang mengawasi dan lembaga Judikatif yang mengadili sudah tercemari dengan korupsi, Kepada siapa lagi kita akan mengadu ....????

Jika hal ini kita biarkan, maka marilah kita menjalani hidup kita di negara ini seperi hewan di hutan, yang tidak mempunyai kepastian arah dan tidak mempunyai keberanian untuk mengungkapkan kebenaran.

Kiranya keluhan hati ini dapat menjadi renungan bagi para penegak hukum, mulai dari Kepolisian, Kejaksaan dan juga Kehakiman.

Tj. Gusta, 8 Februari 2012

Tidak ada komentar: