Halaman

Rabu, 08 Februari 2012

BERITA KORAN PINDO MERDEKA

TERKAIT PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
DANA SERTIFIKASI GURU LABUHANBATU
PUTUSAN HAKIM MENGABAIKAN FAKTA PERSIDANGAN

Sesuai jadwal pembacaan putusan (vonis) terhadap perkara Korupsi Dana Sertifikasi Guru Labuhanbatu, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Medan telah menjatuhkan putusannya kepada kedua terdakwa pada hari Senin tanggal 6 Februari 2012. Dalam putusan ini Majelis Hakim menghukum mantan Bendahara Dinas Pendidikan Labuhanbatu Halomoan dengan Pidana penjara 5 tahun ditambah dengan mengganti kerugian negara sebesar ±Rp. 2,9 milyar atau penjara 2 tahun dan denda 100 juta rupiah atau penjara 6 bulan. Kemudian untuk terdakwa Adi Susanto Purba (mantan KPA) Dinas Pendidikan dijatuhi hukuman penjara selama 3 tahun dan denda Rp. 50 juta atau penjara 3 bulan. Terdakwa Adi Susanto Purba tidak dibebani mengganti kerugian negara, karena menurut Majelis Hakim sesuai fakta persidangan, Adi Susanto tidak ada sedikitpun menikmati dana tersebut.

Putusan ini lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum kepada kedua terdakwa yaitu hukuman penjara masing-masing 6 tahun ditambah dengan mengganti kerugian negara masing-masing Rp. 1,4 milyar atau penjara selama 3 tahun,serta denda masing-masing Rp100 juta atau penjara 6 bulan.
Dalam amar putusan yang dibacakan Majelis Hakim mengatakan bahwa Adi Susanto telah menyalahi prosedur menanda tangani 9 lembar cek berdasarkan SP2D Tunjangan Sertifikasi Guru. Artinya bahwa Adi Susanto telah mengalihkan dana yang bersumber dari Tunjangan Sertifikasi Guru untuk membayarkan mata anggaran lain yaitu pembayaran Pembinaan Kelompok Kerja Guiru (KKG) / Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) dan penarikan Dana Bantuan Keluarga Kurang Mampu (BKKM) / Bantuan siswa Miskin (BSM), serta untuk pengembalian Uang Persediaan (UP) yang mengakibatkan tidak terbayarkannya dana Tunjangan Sertifikasi kepada 233 orang Guru. Dengan demikian Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Adi Susanto telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melangar pasal 3 Undang-udang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah mengalami perubahan menjadi Undang-undang no 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dari argumentasi yang dibacakan ini, berarti Majelis Hakim sependapat dengan apa yang dipersalahkan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Tuntutannya. Padahal menurut Adi Susanto, fakta-fakta selama persidangan ada 3 alat bukti yang dapat membantah tuduhan Jaksa ini.
Dipersidangan telah diperlihatkan foto copy SP2D pembinaan KKG/MKKS dan SP2D BKKM/BSM di hadapan Majelis Hakim bersama-sama dengan Jaksa Penuntut Umum. Keterangan Halomoan juga telah mengatakan bahwa pada saat penanda tanganan 9 lembar cek tersebut bukan berdasarkan SP2D Tunjangan Sertifikasi Guru, akan tetapi berdasarkan SP2D anggaran masing-masing yaitu : 1 lembar berdasarkan SP2D pembinaan KKG/MKKS, 7 lembar berdasarkan SP2D BKKM/BSM dan 1 lembar lagi berdasarkan Surat Edaran Bupati tentang pengembalian UP/GU Nihil.
Keterangan ini diperkuat lagi dengan bukti rekening koran AC Dinas Pendidikan yang dikeluarkan Bank Sumut, dimana dalam rekening koran tersebut jelas terlihat bahwa SP2D BKKM/BSM masuk tanggal 29 desember 2010 dan SP2D Pembinaan KKG/MKKS masuk pada tanggal 28 dan 30 desember 2010, bersamaan dengan masuknya SP2D Tunjangan Sertifikasi Guru yaitu tanggal 30 Desember 2010. Semua bukti-bukti administrasi ini telah diserahkan kepada Majelis Hakim pada persidangan sebelumnya.
Pada saat persidangan mendengarkan keterangan saksi mahkota sekaligus terdakwa, Halomoan sudah tegas mengatakan bahwa “kalaupun Tunjangan Sertifikasi Guru ini tidak terbayarkan, itu bukan tanggung jawab Pak Purba. Karena sepanjang beliau menjadi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), proses penarikan uang selalu diawasi sesuai prosedur, sehingga tidak ada sedikitpun kebocoran yang terjadi. Ini semua terjadi sebelum pak Purba menjadi KPA”, katanya.
“Apa tidak cukup kuat tiga alat bukti ini untuk membantah tuduhan Jaksa itu ?” kata Adi Susanto kesal pada saat ditanyakan pendapatnya atas vonis Hakim ini.
Atas putusan ini terdakwa Adi susanto Purba spontan menyatakan banding. “Ini putusan yang sangat tidak berkeadilan”, katanya. “Majelis Hakim telah mengabaikan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan. Majelis Hakim juga telah melenceng dari tujuan pemberantasan Korupsi yang diharapkan Pemerintah. Seharusnya yang mereka lakukan adalah menindak lanjuti keterangan Halomoan yang mengatakan bahwa kebocoran kas sebesar ±Rp. 2,9 milyar ini adalah akumulasi dari kebocoran-kebocoran yang terjadi sejak tahun 2009 sebelum saya menjadi KPA. Mereka seharusnya mengingat perintahnya kepada Jaksa untuk meneliti kembali administrasi keuangan Dinas Pendidikan selama tahun 2010. Kalau beginilah cara penegak Hukum memeriksa perkara korupsi, maka akan semakin merajalelalah korupsi di negara ini”, tambahnya.
Seperti yang pernah diberitakan sebelumnya, bahwa Adi Susantolah yang merekomendasikan para Guru korban Sertifikasi, untuk melaporkan persoalan ini ke aparat hukum. Sebab pada masa itu dia tidak bisa memberikan keterangan kemana raibnya uang Tunjangan Sertifikasi Guru, karena pada masa itu dia merasa tidak ada sedikitpun menyalahi prosedur dalam menanda tangani cek penarikan uang. Dan pada masa itu Halomoan selaku bendahara telah menghilang dan memutus hubungan komunikasi dengannya.
Pada saat mulai menjabat KPA sebenarnya Adi Susanto telah menanyakan kepada Halomoan tentang kondisi keuangan, yang dijawab Halomoan dengan kalimat “Aman, tidak ada masalah Pak”. Dengan jawaban Halomoan ini, Adi Susanto mulai menjalankan tugas, dengan keyakinan bahwa sepanjang dia menangani tugas administrasi keuangan sesuai prosedur, pasti tidak akan menimbulkan masalah. Andaikan ada penyimpangan yang terjadi sebelumnya, itu pasti bisa ditelusuri nanti kapan terjadinya, dan siapa yang harus bertanggung jawab. Akan tetapi kenyataannya lain. Aparat hukum mulai dari Kepolisian, Kejaksaan bahkan sampai kepada Majelis Hakim tidak mau repot untuk menelusuri persoalan yang sebenarnya, agar ditemukan orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab atas kebocoran kas Dinas Pendidikan ini. Sehingga dalam persoalan ini, Adi Susanto merasa telah dijolimi oleh orang-orang yang sekongkol menjerumuskan dia, termasuk Halomoan, yang disambut dengan penanganan dari aparat hukum yang bekerja hanya sekedar pelepas rodi. ”Terlalu sadis mereka memperlakukan saya “, kata Adi Susanto.
Mengenai vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim Tipikor terhadap Adi susanto ini, seorang praktisi hukum mengatakan bahwa Hakim yang memutus perkara ini adalah pengecut. Dikatakan pengecut, karena Majelis Hakim memberikan putusan setengah dari tuntutan Jaksa, dimana apabila vonis Hakim tidak mencapai 2/3 dari tuntutan Jaksa, biasanya Jaksa akan banding.
“Dari segi logika juga, vonis ini sangat tidak logis. Kalau memang seorang terdakwa terbukti hanya karena salah prosedur dan tidak ada menikmati uang hasil korupsi, seharusnya hukuman yang dijatuhkan kepadanya adalah hukuman minimal yaitu 1 tahun. Vonis seperti ini adalah vonis yang sifatnya hanya sekedar melepaskan bola panas dari pundaknya. Sebab mereka sudah memprediksi bahwa putusan mereka ini pasti akan mengalami proses banding ke Pengadilan Tinggi baik oleh Jaksa maupun Terdakwa. Kalau Majelis Hakimnya pemberani, seharusnya mereka membuat putusan bebas, kalau memang fakta yang terungkap dipersidangan menunjukkan bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan kesalahan”, katanya mengakhiri komentarnya atas putusan ini.

Tidak ada komentar: